Monday, June 23, 2008

Musim di benak Ulan

Pohon-pohon yang dulu ranggas daunnya mulai tumbuh satu-satu. Sudah hampir dua bulan musim dingin kini. Pohon-pohon itu tak lagi mengering. Siraman hujan telah membayar lunas kekeringan musim panas. Pun musim gugur telah berlalu. Pemandangan daun-daun merah yang berserak di jalan-jalan mulai berubah dengan sebentuk rupa pepohonan yang mulai hijau, namun masih malu-malu. Suhu dingin masih mematahkan ingin daun-daun yang hendak tumbuh. Pepohonan itu masih bersabar menunggu musim berlalu. Biarlah waktu yang akan menghantarkannya kepada wujud semula dengan dedaunan rimbun dan bebunga yang mekar sempurna. Sudah ditakdirkan Tuhan, benua ini memiliki empat musim.

Pohon Oak (Photo courtesy: kunaifi)

Dengan sendirinya akan berotasi; musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi. Musim panas akan berganti dengan musim gugur yang bertugas menggugurkan dedaunan dan bebungaan. Setelah itu udara akan berubah ke skala agak dingin, seakan hendak melatih mahluk di dalamnya untuk bisa bertahan di musim berikutnya yaitu musim dingin. Selanjutnya suhu benar-benar dingin, membekukan dedaunan dan bebungaan, manusia saja bila tidak berikhtiar memakai baju penghangat yang disebut mantel atau jaket tebalpun bisa beku. Seterusnya secara perlahan udara yang dingin akan semakin berkurang. ‘’Sabar sajalah wahai pepohonan, daun-daunmu akan tumbuh sempurna di musim semi nanti. Musim yang kunanti. Masa bebunga merekah dan dedaunan menghijau’’. Ulan berbisik sambil melihat ilalang yang bergoyang.

Di musim dingin dengan dedaunan dan bebungaan yang masih malu-malu, Ulan menelisik jenis pepohonan. Kebanyakan akasia dan palm. Akasia tentu saja banyak di kampung halamannya. Sedangkan palm di sini adalah palm taman, bukan palm oil atau kelapa sawit. Kenapa setiap melihat palm, Ulan selalu ingat palm oil yang selalu dilihatnya di kanan dan kiri jalan dalam perjalanan menuju kampung halamannya. Kelapa sawit, yang meluluhlantakan hutan, mengeringkan lahan dan menghisap humus tanah. Tidak hanya itu, setiap hari truk-truk melebihi tonase akan mengangkut jutaan tandan kelapa wasit yang menghancurkan jalan-jalan. Lobang-lobang menganga di sepanjang jalan, seperti ngangaan luka di hati para warga di sekitarnya karena mereka hanya bisa menjadi buruh-buruh kebun. Hidup mereka tak berubah dari tahun ke tahun. Setiap waktu sawit disuling menghasilkan berton-ton minyak, sedang mereka masih kesulitan untuk bertanak. Tak salah jika penyair Aris Abeba mengutipnya dalam puisinya, kira-kira begini kutipannya:

Tinggal sebotol minyak untuk bertanak

Sedangkan negeri ini negeri minyak


Remuk redam rasanya dada Ulan bila mengingat hutan yang tinggal sejemput di kampung halamannya. Kembali ia memandang musim, dingin masih menusuk. Burung gagak masih mengoak-ngoak. Tak ada reranting yang patah di sini. Pun hutan di jejauhan sana tersergam lebat. Seekor burung kecil dengan ekor panjang yang bergoyang-bergoyang mematuk ujung sepatunya. Ada sebiji jagung di situ. Dia tak tahu apa nama burung itu. Sangat banyak burung-burung yang hidup leluasa di kota itu. Tak ada yang mengganggu. Burung-burung berterbangan leluasa. Ulan beku dalam cuaca. (bersambung)

No comments: