Saturday, February 28, 2009

Zia and the Map

Zia belajar membaca peta.

Thursday, February 19, 2009

Sesunyi nadir, selepas takbir

rinduku yang bertalu padamu
membenamkan ku dalam sunyi sepalung syahdu
menggugah gundah yang bergulana sepanjang waktu
andai aku mengerti arti sampai
tak akan ada lagi sansai

pelupuk malam yang tak pejam dalam diam
lindapkan lena lanunmu di tidurku
curi sisa waktu
bergulir tanpa ragu di empedu

pahitkan ia, lalu pahatkan di sekujur waktu
terus berdetak di jasad siang dan malam yang tak terbuang
jangan ada lagi malang
melintang di nadir-nadir yang hadir
setiap usai takbir

khusuk!
seperti apa bentuk rupamu?
apakah sunyi yang berbisik di relung hati
atau denting waktu yang bertalu di gemuruh syahdu
melepas rohku dari jasad tanpa ragu

Sunday, January 25, 2009

Jazirah Para Nabi

oleh
Samson Rambah Pasir

Memang, semua kejadian ada alasannya. Juga hikmah.

Tapi kau harus tahu, Saudaraku: tak ada lagi cinta tertemu di gurun kasih kecuali desau angin antara bebatu. Tak ada lagi mencintai untuk jaya bersama, tua bersama, mati bersama, apalagi hidup berdamping rukun dan damai. Aku atau Kau [yang adalah kita: Muslim, Nasrani, Yahudi] — besok atau lusa, entah siapa yang dulu – mungkin akan dipungkang roket, dikecai bom, disapu ranjau, disambar peluru, dihantam tank, atau oleh apa saja yang merisau di sepanjang jazirah para nabi, tanah para aulia itu.
Ah, Kawan… mungkin aku terlalu kelabu memandang persoalan. Aku berharap, aku salah. Dan sebutir embun optimistis layak merona di dedaun zaitun, kebun anggur dan pucuk kurma sepanjang jazirah membentang, bahkan di punuk unta dan ranting kaktus yang kerontang.

Keagungan sejarah lampau di jazirah ini, romansa kisah berpulun-pulun menghias perjuangan para utusan, berbagai mukjizat bedelau para rasul, kesakralan Tanah Suci dan Bait Allah tersergam sanggam, dan karya instalasi buah peradaban agung berbagai-bagai: bisa melindungimu dan tempatku berlindung, tapi karena cara kita yang bermusuhan dalam memuliakannya dapat pula menghancurkan kita. Padahal, semua unsur semestinya bergerak untuk melayani Satu Keutuhan, bukan?

[Terkadang, ketika agama dan kekuasaan menaiki kereta yang sama, angin badai selalu menerjang!]

Selalu kita merujuk persoalan pada lembaran Kitab Suci masing-masing, padahal persoalan-persoalan itu sejatinya urusan hati kita yang tamak semata serta licik penuh intrik dan sarat konspirasi. Dan lagi, sebesar apapun tubuhmu, Kawan [tubuh kita], remote-nya adalah hati yang cuma sekepal tangan itu, organ kecil yang mendrive kehidupan, termasuk terhadap Tuhan.

Berabad-abad tanah ini melahirkan agama-agama samawi, tempat suci yang sakral dan berbagai karya peradaban gemilang. Tapi kini, jazirah itu memuntahkan banyak persoalan, hamparan yang terus membatukkan derita dan selalu membersinkan sigau – jangan mendekat ke sana, sebab virusnya paling tidak dapat membuatmu influenza! Lalu aku bertanya, siapa yang mesti bertangung-jawab ketika jazirah para nabi berlumur darah dan airmata?

Mulai dari era para nabi sampai masa Kesultanan Ottoman, Perang Salib dan zaman modern: di jazirah ini berbagai umat saling memusuh berganti-ganti. Berdendam-dendam tak sudah-sudah. Padahal, membenci seperti yang dilakukan musuhmu, berarti kau kalah darinya – apapun alasan. Dan, dendam tidak pernah menyelesaikan persoalan, Kawan!

Memang, kita hanyalah pemain sekaligus korban dalam deru-deram zaman yang terus berubah. Selain Sang Maha Abadi, yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Tidak siap berubah, itulah musuh zaman. Orang yang takut perubahan, itulah para penggamang.

Di tangan penguasa penggamang, agama – bahkan Tuhan — jadi banyak meminta, pemaksa, bahkan pencemburu. Padahal, agama dan Tuhan sangat dibutuhkan dalam dunia yang kian pelik sebagai pembebas dari rasa khawatir, pelindung dari rasa takut, dan pembimbing di masa gamang. Tapi yang terjadi di jazirah para nabi, rasa khawatir memiuh hati, ketakutan memilin jiwa, kegamangan meremang kuduk dan airmata menyimbah ratap.

Betapa politik, kepentingan, kekuasaan dan ketamakan manusia telah menjadi virus yang berpusu-pusu menyuruk masuk ke pembuluh agama, meng-kuda-troya-kan agama-agama. Paling tidak, susah membedakan persoalan politik dan domain agama dalam silang-sengkarut yang terjadi sepanjang jazirah berzaman-zaman.

Bulir airmata dan darah yang bersepah telah men-dawat dan me-ninta lalu menoreh lara di jazirah para nabi. Dari dulu sampai sekarang darah tumpah dan airmata berderai. Kekuasaan dan agama: yang mana satu mesti dipersalah?

Demi kekuasaan, agama telah di-atasnama-kan dan Tuhan di-berpihak-kan. Padahal Aku dan Kau sama-sama berdoa pada Yang Satu, mengadukan persoalan yang sama dengan pinta yang sama pada Yang Satu: mohon perlindungan dan keselamatan. Tapi mengapa darah masih bersepah dan airmata terus bersimbah di antara kita yang sama memohon perlindungan dan keselamatan? Di manakah Tuhan saat Dia dibutuhkan?

Ketika kekuasaan dan agama di-serumah-kan, jazirah permai menjadi sansai, padang gembala jadi gurun pembantaian. Ketika Tuhan di-berpihak-kan, persamaan jadi mubazir, kearifan menjadi pandir. Ketika kita memaksakan kacamata kita untuk menghakimi nilai di luar diri kita, semua tampak seperti musuh.

Ketika umat sebuah agama kehilangan feminisme [kelembutan, hanif] terhadap umat agama lain, saat itulah humanisme terkapar dan pluralisme menggelepar. Padahal, agama hadir mengusung humanisme, pluralisme, emansipasif, bahkan rahmatan lil alamin.

Paradoks keberagamaan bukan cerita baru sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Dengan alasan penyebaran agama misalnya, terjadi ekspansi teritorial yang, diakui atau tidak, membuka ruang dan peluang pada penistaan kemanusiaan, karena ianya – ekspansif itu – beda tipis dengan perebutan atau penaklukan wilayah. Dalam memperebutkan Kota Suci Yerussalem, misalnya, Perang Salib telah menumbangkan korban jiwa tak terkira. Dan sebelum itu, penaklukan Asia Kecil dari Byzantium oleh Ottoman juga demikian. Dan sebelumnya lagi, upaya penegakan agama samawi di Eropa, jutaan manusia penganut paganisme [agama lokal Eropa] telah binasa. Begitu jugalah yang terjadi di era modern: ribuan manusia terpungkang roket, terperangkap ranjau, dikecai bom, dihantam tank, dilanggar peluru. Memang bukan perang agama, tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa agama dan Tuhan tidak dibawa-bawa?

Dalam banyak kejadian, Tuhan sering dihadirkan sebagai pembenar atas tindakan-tindakan kekerasan. Radikalisme atas nama agama. Pemahaman keagamaan dan ketuhanan yang benar menjadi barang mewah. Di sepanjang jazirah para nabi, sejarah kekerasan selalu berulang.

Saudaraku, mengarifi sejarah bukanlah barang mewah. Mari belajar dari kisah yang terhampar di jazirah para nabi. Di atas semua itu, ajaran para nabi yang lahir di jazirah itu, mari imani dan jadikan pedoman hidup dan amalan. Sementara temperamental pemberang dan peradang khas padang pasir yang selalu menodai sejarah perjalanan agama, mari buang ke longkang, jangan biarkan menjejak pertiwi.

Mari mencintai untuk jaya bersama, tua bersama, rukun dan damai bersama. Aku dan Kau – apapun agama yang dianut — hidup berdamping membangun negeri. Percayalah, embun optimis layak merona di dedaun hijau sebentang khatulistiwa. Longgarkan buhul-jemarimu yang mengepal dan turunkan intonasi suaramu yang meninggi serta redakan emosimu yang membuncah. Mari berpeluk-genggam dalam cinta dan kasih – apapun agama yang dipeluk. Bersatu dalam ilahi, tanpa mempersoalkan bagai mana lidah kita melafaskan-Nya, dan dengan kata apa kita menamai-Nya.

Berubahlah…! ***

Sastrawan, Bermastautin di Batam
Sumber: Batam Pos, Ahad 25 Januari (seligi) http://www.batampos.co.id

Monday, January 19, 2009

Surat buat Aesya

sebenua doa telah kukirimkan
namun
asap hitam dan peluru
masih lekat pekat di tanahmu
pun air mata darah
kini tumpah
luah jadi nanah
namun
perang tak jua sudah


Aesya Layla,
tulipe yang sempat kau kirim
masih merekah di dada
tetap merah
semerah darah ratusan ayah
yang gugur membela marwah
semerah darah ratusan kanak
yang lepas dari pelukan ibu
semerah darah ratusan ibu
yang ditangkup segunung pilu


Aesya Layla,
tunggu aku di gerbang gaza!


Perth, 19 Januari 2009

Thursday, January 1, 2009

tasbih kembang api

sayap malam sibak diamku yang kelam

tikam jantung pedih sembilu

wahai,

jangan tebas tasbih raguku

galau hijriah luncaslah pergi

masuki detik dengan bismillah

kucium aroma daun kemangi

yang kau sisip di pinggang matahari

fajar alaf baru menyapaku

wahai, alangkah aduhai

semoga hidup jauh dari sansai

‘’jangan terlena warna-warni kembang api

perciknya hanya sebatas fatamorgana’’

hujahmu di pelataran malam yang diam

namun kumau hidupku bagai kembang api

memercik indah bak pelangi

hingga tak ada lagi api

baranya hinggap ke palung sunyi

ah, sudahlah

jangan bertengkar lagi

tahun lalu sudah lewat

mari kita bersiap sigap

sebentar lagi kapal akan melempar sauh

perjalanan masih jauh

Perth, penghujung tahun

Friday, December 26, 2008

Missing to be on air

This morning, I fell missing to be on air again. Before moving to Perth, I worked for RTV, a local TV station in Riau. My jobs ranged from presenting news and other more in-depth programs. I was a presenter of news program named Detak Riau and presented some other programs like Interactive Dialog (Berita Pilihan 6) and a current affair program called Dari Hati ke Hati. Every day, I did jobs related to broadcasting. Beside working on the screen, I was also the Vice Manager of Program Dept. who was responsible to make sure that all programs go online on the time. I like this job very much and I enjoyed doing my day.

The problem is that today, I did not know why, I misses the day have been passing by. Since last Feb, I and my Son have been staying here in Perth to accompanying my husband who is doing a Master at Murdoch Uni. Consequently, my life has to be changed. New place, new experiences. I love my life now, but some time I miss the days have been passing by.

But, I understand that I have to patient. I know that I am lucky woman. When I am back to Pekanbaru next July, I will join back to my company. The CEO of Riau Pos Group, Mr Rida K Liamsi has offered me a chance to come back to the Riau Television.

Tuesday, December 23, 2008

Jangan anggap remeh kesemutan

Jangan pernah menganggap remeh kesemutan. Kesemutan pada waktu lama akan berdampak buruk terhadap kesehatan anda. (la iyalah.....) he he. Ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya kesemutan terus menerus sampai satu minggu. Paling-paling sebelumnya kalau kesemutan hanya jika salah tidur karena posisi tangan yang salah, dijepit di paha atau menelungkup. Namun kesemutan yang saya alami seminggu terakhir adalah cedera akibat melakukan pekerjaan fisik secara berulang-ulang sehingga menyebabkan trauma fisik.

Nah, bagi anda para ibu rumah tangga, jangan menganggap remeh jika tangan anda kesemutan dalam waktu lama. Pekerjaan seperti memeras pakaian, mengulek sambal atau sifatnya menekuk pergelangan tangan secara terus menerus padahal tak biasa melakukan pekerjaan itu bisa menyebabkan terjepitnya saraf medianus. Di pergelangan tangan manusia ada semacam lekukan tempat melintasnya saraf ke telapak tangan, disebut saraf karpal. Di dalamnya ada saraf dan pembuluh darah. Jika sarafnya terjepit di dalam terowongan karpal inilah yang menyebabkan kesemutan pada seluruh jari kecuali kelingking. Penyakit ini disebut Carpal Tunnel Syndrome (sindrom terowongan karpal).

Pada awalnya saya menganggap remeh kesemutan yang terjadi pada tangan kanan saya. Namun setelah satu minggu, saya mulai khawatir kalau ada masalah dengan kesehatan saya. Saya pun bertanya ke ‘’mbah google’’ di internet (saya dapat istilah ini dari bang Ade Adran Sahlan). Ternyata ada banyak hal yang bisa memicu kesemutan antara lain; tumor jinak akibat desakan kelenjer, kecelakaan, diabetes, hipotiroid, dll. Tidak hanya itu orang yang pekerjaannya banyak menggunakan gerakan pergelangan tangan seperti operator komputer dengan posisi mouse yang salah juga beresiko mengalami penyakit ini. Alamak, perasaan saya mulai bermain-main, jangan-jangan ada tumor dalam tubuh saya, atau saya kena penyakit ini, itu. Wah, dari pada repot dengan perasaan saya sendiri, padahal saya tidak mempunyai ilmu sama sekali di bidang itu(kedokteran), sayapun membuat janji untuk konsultasi dengan dokter. Di sini (Australia) untuk kasus yang tidak emergency kita harus buat janji dulu dengan dokter. Paling cepat jika kita mendaftarnya hari ini, besok baru bisa bertemu dengan dokter. Saya jadi ingat, kalau di pekanbaru, buat janji dengan dokter ‘’tak pakai lama’’, asalkan mau mengantri. Di sini mengantrinya di rumah sendiri, bukan di rumah sakit. Jadi kita sudah tahu jam berapa mesti datang sesuai dengan urutan antri. (Bingungkan? Saya juga bingung)


Tibalah saatnya saya bertemu dengan dokter. Dokter Jones namanya. Orangnya ramah dan memberi waktu seluas-luasnya kepada saya untuk berkonsultasi. Saya jadi ingat (untuk kedua kalinya), dulu ketika saya membawa anak saya ke salah satu rumah sakit swasta di pekanbaru, dokternya buru-buru sewaktu berkonsultasi. Jika saya masih tanya ini dan itu, dokter gelisah dan langsung bilang, ‘’60 ribu’’. Oh my godness!

Dokter Jones, sebelum saya berdiri dan pamit, akan terus menerangkan setiap pertanyaan yang saya ajukan. Alhasil, dokter menyarankan saya untuk memakai penyangga dan memastikan apakah penyangga itu tersedia di apotik terdekat dengan klinik itu dengan menelepon pegawai apotik. Setiap resep yang diberikan dipastikan apakah tersedia di apotik terdekat, jika tidak dokter akan mencari jalan keluar. Saya jadi ingat(untuk ketiga kalinya), sampai tengah malam mencari obat untuk ponakan saya dari resep dokter di salah satu rumah sakit swasta di pekanbaru. Hampir seluruh apotik saya jalani waktu itu, ternyata obatnya tak tersedia. Lalu saya bertanya, untuk apa resep ini?

Untung bagi saya, penyangga untuk tangan kanan saya tersedia di apotik terdekat dengan hanya berjalan kaki sekitar 4 menit. Disamping penyangga dokter juga memberikan vitamin untuk saraf dan penghilang rasa sakit. Hari terus berlalu. Kini tangan kanan saya memakai penyangga. Dokter juga memberikan saya surat izin istirahat kerja selama 7 hari. ‘’Kesemutan oh kesemutan, kenapa jadi begini.’’ Hukkk hukkk hukkkk’’