Foto: creativemindspressDalam suratnya ibu bercerita, ‘’setiap bulan purnama kami, dan ayahmu selalu duduk di beranda. Kami seperti melihatmu menari sambil memainkan biola,’’ akh, surat ibu selalu mengundang air mata. Betapa aku ingin melihat wajah yang sudah renta itu. Namun keinginan untuk bertemu selalu dipatahkan oleh rutinitas hidup di negari orang. Kini aku tidak lagi hidup di ibu kota negeri ku, tapi sebuah negeri yang jauh, di sebuah benua yang terletak di selatan pulau papua. Artinya, aku tidak hanya bersaing untuk hidup dengan orang-orang sebangsaku, namun suku lain, dan ini memerlukan kerja keras. Jika tidak, aku hanya akan jadi pecundang.
Hampir dalam setiap suratnya ibu berpesan, walau jauh di negeri orang, namun aku harus tetap menjadi diri sendiri. ‘’kau mesti terus jadi melayu, resam dan marwah nenek moyangmu jangan sampai lekang, begitu kata-kata ibu yang vulgar dan aku bayangkan sewaktu menulis kata-kata untukku, air mata ibu menggantung hendak tumpah.
Nah, kan. Aku mulai tidak adil lagi. Bermain dengan pikiranku sendiri, sementara mulutmu berbuih-buih, nyerocos sendiri. Entah apa yang engkau ceritakan dan entah sampai di mana. Tak ingin mengecewakanmu, aku mencoba memberi respon dengan asal Tanya. ‘’Apa yang kau bayangkan, jika mengingat Kuta? Kau terdiam lama. ‘’Waktu itu Kute berlumur darah, ‘’ katamu tiba-tiba tanpa kusadari apakah engkau telah bercerita tentang hal ini sewaktu aku bermain dengan pikiranku sendiri, tadi.
‘’Ya, aku memang tak banyak tahu ketika kotamu dikabarkan dibom. Dari sini aku hanya menonton televisi dan mengetahuinya dari Koran. Bali dibom, ratusan warga kulit putih banyak yang jadi korban. Orang pertama yang aku ingat waktu itu adalah kau. Sayang ketika ponselmu kuhubungi, nomormu telah berubah, tanpa kau beritahu nomor terbarumu. Aku kehilangan kontak denganmu. Dan tiba-tiba kita bertemu di sini, di negeri Kanguru ini, jauh dari kampung halaman kita masing-masing.
‘’Mayat-mayat bergelimpangan,’’ ujarmu membuka cerita tanpa menanyakan kesediaanku apakah bersedia mendengar ceritamu. Waktu itu kira-kira pukul 11 malam. Ada suara dahsyat, sangat dahsyat. Aku keluar kamar sambil berusaha melawan kantuk. Kalang kabut, akhirnya aku sampai di halaman rumah. Aku tambah kalut, karena tiba-tiba ada helm terlempar di samping kiriku. Tanpa kusadari, bapak yang telah dari tadi keluar rumah, mengejar helm itu, lalu memungutnya. Ya, Tuhan, ada kepala masih nempel di helm itu. Tiba-tiba awan hitam menyerang kepalaku. Sekelilingku jadi gelap, sayup kudengar jeritan ibu memanggilku, lalu semua jadi remang-remang. Ada kobaran api merah saga, bukankah itu aku, yang berlari dikejar halilintar yang menggelegar. Ribuan siluet merah mengepungku. Jeritan-jeritan pilu minta tolong, desah yang tak sampai, kepala-kepala tanpa tubuh, tangan yang terpotong-potong, tubuh-tubuh gosong. Aku berada di tengah-tengah semua itu. Di antara lautan darah, merah, asap yang menghitam, tubuh-tubuh yang hitam legam, dan amis darah.
‘’Begitulah,’’ katamu tersekat. Kusodorkan sebotol air mineral yang selalu setia kubawa dalam ranselku. Alah mak, kau teguk habis, padahal aku baru meminumnya seperempat. Wah melayang lagi 2 dollar untuk membeli minum nantinya. Mata uang rupiah tak ada harganya di negeri ini. Kau kan tahu aku selalu bermasalah dengan keuangan di sini. Kedengarannya memang 1 atau 2 dollar, tapi kalau kita kurs kan ke rupiah, sudah berapa rupiah? ‘’Nah, kan. Kau mulai lagi dengan pikiranmu sendiri,’’ ujarmu mengejutkanku dengan rumus-rumus ekonomi sebagai seorang yang berpenghasilan pas pasan.
Tak ingin sudah dengan ceritamu, aku kembali mengorek pertanyaan lebih jauh.
‘’Lalu, apa yang kau rasakan saat ini setelah mengalami peristiwa yang bagiku sangat menyulitkan itu.
‘’Hatiku kecut, lututku gemetar, ribuan tanya menggelantung di pikiranku. Untuk apa semua ini dilakukan,’’ jawabmu sambil mengalihkan pandangan ke selancar-selancar indah yang bertebaran di darling habour.
‘’Apakah kau menyimpan dendam. Dan kau percaya itu dilakukan oleh kami warga muslim? ‘’Tanyaku beruntun.
‘’Sama sekali tidak,’’ aku selalu memandang positif terhadap orang-orang muslim. Termasuk kepadamu. Buktinya aku masih bersahabat baik denganmu,’’ ujarmu sungguh-sungguh.
Kini pertanyaanku semakin banyak untukmu dan berusaha untuk tidak bermain dengan pikiranku sendiri. ‘’Beberapa hari setelah kejadian itu, aku menyaksikan di layar televisi sebuah prosesi layaknya upacara ritual. Apa nama upacara itu?’’ tanyaku serius.
‘’Upacara pamarisuda kariphubaya,’’ jawabmu sambil tersenyum. Pada intinya upacara itu untuk menetralisir atau mengembalikan energi. Dalam kepercayaan kami di Bali, usai pengeboman itu, khususnya di tempat kejadian, banyak energi jahat, jadi energi jahat tersebut harus diusir dan tempat tersebut dan dikembalikan lagi ke energi sebelumnya.
Tanpa dikomandoi kita berdua kembali tiba-tiba terdiam. Udara makin dingin. Kuketatkan krah switer dengan meluruskannya ke atas hingga menutupi leher. Kutatap purnama itu, tanpa sadar kembali terbayang purnama di kampungku nun kini jauh. Kuakui walaupun kota ini indah dengan segala kemegahan dan kecanggihan teknologinya, namun purnama di kampungku tetap lebih indah. Cahaya bulan yang jatuh ke dedauan di samping rumah, jauh lebih indah dari cahaya rembulan yang jatuh di atas gedung-gedung pencakar langit di sini.
Siluh, aku biasa memanggilmu dengan sebutan itu. Aku ambil dari namamu Siluh Putu Gayatri. Aku tau kau tak setuju kupanggil Silu, karena panggilanmu biasanya gayatri. Siluh adalah panggilan nama pertama yang kau dengar, dan itu dari mulutku, sahabatmu. Begitulah, setelah saling berdiam diri, kita kembali larut dalam cerita kita masing-masing. Mengapa kita sampai bisa akhirnya ketemu di kota ini. Aku ingat betul. Kita bertemu ketika aku belanja di Pedy’s market, di bagian pasar tradisional di basement. Pasar ini sangat dekat dengan kampusku. Memang yang belanja di situ golongan menengah ke bawah. Termasuk aku yang kerja sambil kuliah di sini.
Pertemuan kita tak disengaja. Ketika aku sedang memilih-milih buah anggur yang harganya lebih murah di sini dari pada di Indonesia, tanpa sadar aku diamati oleh seorang gadis, yang matanya kukenal betul. Pertamanya aku agak ragu itu adalah kau. Namun aku melihat keyakinan di matamu, kalau yang kau lihat benar-benar aku. Saujana! Sapamu memekikkan telingaku, tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar kita kaget dan mempelototi kita. Kita berangkulan, dan saling pegang kepala, seperti kebiasaan kita bila berjumpa pertama kali setelah sekian lama tidak bertemu. ‘’Ya, aku Saujana. Temanmu yang manis itu,’’ ujarku tanpa mempedulikan pedagang anggur yang menyodorkan 2 kilo anggur yang telah ditimbangnya. Itulah awal pertemuan kita di sini untuk kedua kalinya setelah terpisah hampir 1 tahun. Semenjak itu hari-hariku mulai berwarna dengan kehadiranmu dan persahabatan kita.
Namun, hampir 1 tahun di sini, kau tak mau terus terang tentang pekerjaanmu. Pun, ketika aku ingin bermain di apartementmu, kau selalu mengelak. Aku tak ingin memaksamu. Aku hanya tahu, penampilanmu berkelas, rapi dan modis. Kau gadis Bali yang berpenampilan modern, dan aku tetap dengan penampilan yang dari dulu tak berubah. Kau selalu bertanya, apakah gadis melayu semuanya pakai kerudung sepertiku. Dan aku selalu menjawab, tidak semuanya. Dan pertanyaanmu akan lebih panjang lagi. Kenapa tidak. Kan katanya perempuan Islam mesti pakai kerudung, kenapa bisa beda-beda. Dan pertanyaanmu yang satu ini tidak pernah kujawab, dan cukup hanya dengan mengangkat bahu, walau kutahu betapa kecewanya engkau.
Hari-hari yang kita lalui tak terasa, hampir 2 tahun kita di sini. Kulihat hidupmu terus mengalami perubahan. Kini kau punya mobil, sedang aku masih kosentrasi menyelesaikan tesisku dan juga mesti tetap bekerja.
Tiba-tiba dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kau memilih untuk kembali ke Bali, dan meninggalkan semua pekerjaan dan kemewahan yang telah kau dapat di sini. ‘’Aku rindu menari, bermain di Kute dan sembahyang di Pura,’’ tulismu dalam secarik kertas yang kau selipkan di pintu rumahku. Setelah itu aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Kau kembali menjadi perempuan misterius. Begitulah, dirimu. Apabila kita telah berpisah, begitu pelit untuk berbagi komunikasi denganku. Bahkan untuk sms pun kau tak mau, aku ingin memulai, namun tak tahu nomormu yang baru. Sudah 2 kali kau menghilang dari hari-hari kita yang indah. Dan jujur, aku sangat kehilangan.
Ups, dingin begitu menusuk tulangku. Aku seakan terjaga dari tidur pulas. Kulihat jam rupanya sudah hampir 5 jam aku duduk sendiri di sini. Kusadari, aku tidak lagi duduk menatap bulan di sini bersamamu, tapi sendiri. Hampir tengah malam. Aku bingkas dari tempat dudukku. Tak mungkin aku berjalan kaki menuju ke apartement malam-malam begini. Taksi yang kulambai berhenti persis di sampingku. Di dalam taksi pikiranku bermain lagi. Aku ingat surat ibu yang datang petang tadi. ‘’Saujana, kapan kau pulang. Bagaimana dengan sekolahmu. Apakah belum cukup juga waktumu untuk sekolah? Ibu rindu. Begitu banyak peristiwa yang terjadi di sini. Aceh, kota kebanggaan ayahmu telah tersapu tsunami. Riau kini sedang diselimuti asap, sebelumnya banjir melanda kampung kita, namun kau jangan anggap enteng dulu. Banjir kali ini dahsyat, hingga menyebabkan Wak Sani kena penyakit jantung karena keramba-kerambanya hanyut dibawa air. Begitu pula Tuk Salim hampir gila karena puluhan kerbaunya mati. Dalam situasi seperti ini, ibu memerlukanmu. Ibu selalu merindukanmu. Mungkin karena itulah ayamu memberimu nama Saujana rindu. Kau selalu menjadi ladang kerinduan kami’’.
Surat ibu singkat, namun mampu menguras air mataku dan menyebakkan dada. Taksi terus melaju. Sudah lebih tengah malam, di tengah kebekuan malam, taksi berhenti dan kembali melaju. Aku melangkah satu-satu menuju pintu. Sungguh, aku tak tahu apa kata-kata yang mesti kutulis untuk ibu, namun aku sangat harus membalas surat itu. Sedangkan rembulan itu belum juga berhasil kugenggam.
1 comment:
Great work.
Post a Comment