Thursday, June 5, 2008

Mencari sayap Rumi

Hari ini aku kembali belajar dari puisi. Jika ada golongan orang yang mencari ilmu dari puisi, termasuklah aku pada golongan ini. Hampir setiap hari belajar dari puisi. Bisa puisi dari para penyair-penyair dulu dan kini, atau puisi-puisi yang tersangkut di pohonan, hinggap di debu jalanan pun di bayang-bayang hari dan keremangan malam. Juga puisi yang kesepian menahan gigil di dingin malam atau puisi yang tersesat di bawah kepak malam yang hitam.

Kembali menelisik puisi Jalaludin Rumi. Penyair yang terbiasa berdepan-depanan dengan kata-kata yang absurd dan sufi. Entah dimana dia dapatkan kata-kata itu. Mengalir dan meluai indah di nadi. Gelar master puisi sufi memang tepat untuknya.

Adakah balkh, Afganistan tempat ia dilahirkan tahun 1207 lalu disentuhnya dalam puisi? Itu pertanyaan yang sudah sejak lama. Ketika membuka-buka internet, kubaca biografi singkat tentang Rumi. Tulisan yang berjudul Biography of Rumi yang ditulis Richard Pettinger itu saya terjemahkan seperti di bawah ini.

Jalaludin Rumi. Dilahirkan di pantai barat kerajaan Persia, kemudian menetap di Kenya, yang kita kenal Turki saat ini. Rumi yang tumbuh dan dibesarkan dalam pergolakan sosial dan politik yang luar biasa dimasa invasi besar-besaran Mongolia sangat berpengaruh terhadap puisi-puisinya. Begitu juga puisi-puisinya yang bercerita tentang tuhan, cinta dan kehidupan. Tentu saja terpengaruh dari jalan hidupnya yang memilih menyayangi tuhan, sesama dan kehidupan. Puisi-puisi Rumi mengandung apresiasi yang sangat luas, menyentuh kesadaran kita, membangunkan kita tentang sebuah kesadaran spritual dalam diri kita masing-masing.

Majalah sastra Horison edisi Desember 2007, membahas panjang tentang kepenyairan Jalaludin Rumi. Dalam kupasan panjangnya, Jamal D rahman mengatakan Rumi adalah duta cinta sepanjang masa, mempunyai jiwa pengembara dan sosok pencari jalan spritual yang tak pernah berhenti.

Masih mencari jawaban tentang pengaruh tanah kelahiran Rumi terhadap puisi-puisinya, Jamal D Rahman menyebutkan ada puisi Rumi yang tak pernah jauh dengan kota kelahirannya yang diluluhlantakkan pasukan Mongol. Balkh, juga kota-kota Persia terkenal lainnya seperti Bukhara dan Samarkand tetap menjadi kenangan di hati penyair sufi itu. Seperti sebait puisi Rumi yang dikutip Jamal D Rahman dalam tulisannya, seperti di bawah ini.

Mari ke rumahku, kekasih-sebentar saja!

Gelorakan jiwa kita, Kekasih- sebentar saja!

Dari Konya pancarkan cahaya Cinta

Ke Samarkand dan Bukhara-sebentar saja!

Saya tercenung membaca kalimat yang ditulis Jamal D Rahman tentang puisi itu yang saya kutip seperti berikut ini. ‘’Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya……………’’

Masih dari majalah sastra Horison edisi Desember 2007. ‘’Menunggu Rumi Setiap Hari’’ judul tulisan Joni Ariadinata yang membangun imajinasi ‘’liar’’ tentang Rumi, dikaitkan dengan beribu kisah saat ini yang ditumpangkannya lewat siaran televisi. Ada dangdut mania, pemanasan global yang runutnya ke banjir yang menewaskan ratusan orang, hiruk pikuk kota, pembantaian 600 ribu rakyat Irak dan banyak lagi kisah. Saya menangkap dari tulisan Joni Ariadinata, betapa sebenarnya ‘’kita’’ setiap hari ‘’menunggu Rumi’’!

Masih di hari ini, sekedar melepas lelah usai mengantar anak sekolah, di tengah rutinitas kerja dan mengabdi pada suami, kembali kupelototi kata-kata dalam puisi Rumi.

Ha!, aku jadi lupa diri. Menerjemahkan sajaknya yang bersayap. Sayapnya mengepak-ngepak mencari tuhan, cinta dan segala sebab. Akupun menggelapar seperti burung yang patah sayap. Sungguh, ingin aku meminjam sayapmu itu Rumi. Aku ingin buat puisi.

…….pinjami aku sayapmu Rumi

di antara puing waktu yang berlari

mari kita saling berbagi…..

1 comment:

Anonymous said...

hmmm..puisi..senyawa kesetiaan tanpa jeda.....